makalah

HUKUM MEMINTA BANTUAN ORANG KAFIR DALAM PERANG

MAKALAH

Ditulis Sebagai Syarat Lulus

dari Ma’had Al-Islam Surakarta

Tingkat Aliyah

Oleh :

Hafidh Muhaimin

NM: 2031

MA’HAD AL-ISLAM SURAKARTA

1429 H / 2008 M

PENGESAHAN

Alhamdulillah dengan rahmat serta izin Allah Subhanahu wa Ta’ala penulisan makalah yang berjudul Hukum Meminta Bantuan Orang Kafir dalam Perang ini telah terselesaikan, yang kemudian makalah ini disahkan oleh Asatidz penulis makalah ma’had Al-Islam Surakarta pada … H / …M


KATA PENGANTAR

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُبِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاِهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. أَمَّا بَعْدُ:

إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَاتٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ.

Alhamdulillah, akhirnya dengan izin dan perkenanan Allah Subhanahu wa Ta’ala makalah yang berjudul hukum meminta bantuan orang kafir dalam perang ini dapat terselesaikan. Penulis bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberi panulis kesabaran dalam menyelesaikan penulisan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya makalah ini bukan semata-mata karena penulis sendiri, melainkan berkat bantuan dari pihak yang lain. Oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis bermaksud menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak yang telah memberikan andil dalam penyusunan makalah ini. JAZAKUMULLAHU KHAIRAN penulis sampaikan kepada yang terhormat:

1. Al-Mukarram Al-Fadlil Al-Allamah Al-Ustadz Abu Faqih Mudzakkir, pengasuh ma’had Al-Islam di Surakarta ini yang telah belajar penulis.

2. Al-Mukarram Al-Ustadz Muhtar Tri Harimurti, dan Al-Mukarram Al-Ustadz Irwan Raihan AMd. yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dan membantu memecahkan persoalan-persoalan yang penulis hadapi dalam penulisan karya ilmiah ini.

3. Al-Mukarramah Al-Ustadzah Masyithah yang telah menyediakan waktu serta membantu penulis khususnya dalam mentahqiq karya ilmiah ini.

4. Al-Mukarram Al-Ustadz Abu ‘Abdillah, Al-Mukarram Al-Ustadz Rohmat Syukur, Al-Mukarram Al-Ustadz Drs. Joko Nugroho, Al-Mukarram Al-Ustadz Drs. Supardi dan Al-Mukarram Al-Ustadz Supriyono SE yang telah membantu penulis dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

5. Al-Mukarramun segenap Asatidz dan Ustadzat yang turut banyak memberikan pendidikan, bimbingan sekaligus menyediakan berbagai fasilitas dan memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis selama penulis belajar di Ma’had Al-Islam ini.

6. Al-Mukarramun bapak dan ibu penulis tercinta yang selalu memberikan semangat, nasehat, dan mengirimkan do’a kepada penulis setiap waktu apalagi dalam menyelesaikan penulisan ini.

7. Kakak-kakak dan adik-adik kelas penulis yang turut memberikan semangat kepada penulis.

8. Segenap ikhwan dan akhwat di Ma’had Al-Islam Surakarta, khususnya rekan-rekan penulis yang memberikan motivasi serta menjadi tempat berbagi rasa selama penulis berada di Ma’had Al-Islam Surakarta ini.

Dengan harap sangat, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala membelaskasihani dan memasukkan mereka ke dalam surga-Nya.

Penulis sadar bahwa sekeras apapun usaha yang penulis lakukan, karya yang sederhana ini tak lepas dari kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik pembaca sekalian demi kebaikan serta perbaikan makalah ini selanjutnya.

Akhirnya penulis kembalikan semua urusan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan harapan mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca sekalian lebih-lebih bagi pribadi penulis. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَ تُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

.*حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ*.


DAFTAR ISI

Halaman Judul …………………………………………………………………………….. i

Halaman pengesahan ………………………………………………………………….. ii

Halaman Kata Pengantar …………………………………………………………….. iii

Halaman Daftar Isi ………………………………………………………………………. v

BAB I : PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah …………………………………………. 1

2. Rumusan Masalah…………………………………………………. 1

3. Tujuan Penelitian……………………………………………………. 1

4. Kegunaan Penelitian………………………………………………. 1

5. Metodologi Penelitian…………………………………………….. 1

6. Sistematika Penulisan…………………………………………… 3

BAB II: PENDAPAT BOLEHNYA MEMINTA BANTUAN ORANG KAFIR DALAM PERANG DAN HUJJAH YANG MENDASARINYA

1. Ulama Yang Berpendapat Bolehnya Meminta Bantuan Orang kafir dalam Perang 5

2. Hujjah Yang Mendasari Pendapat Bolehnya Meminta Bantuan Orang kafir dalam Perang 7

BAB III: PENDAPAT HARAMNYA MEMINTA BANTUAN ORANG KAFIR DALAM PERANG DAN HUJJAH YANG MENDASARINYA

1. Ulama Yang Berpendapat Haramnya Meminta Bantuan Orang kafir dalam Perang 10

2. Hujjah Yang Mendasari Pendapat Haramnya Meminta Bantuan Orang kafir dalam Perang 11

BAB IV: ANALISIS

1. Analisis Pendapat Bolehnya Meminta Bantuan Orang Kafir dalam Perang 14

2. Analisis Pendapat Haramnya Meminta Bantuan Orang Kafir dalam Perang 17

BAB V: PENUTUP

1. Kesimpulan…………………………………………………… 19

2. Saran-saran …………………………………………………. 19

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….. 20

LAMPIRAN…………………………………………………………………………. 22


BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Dalam buku berjudul “Mereka Adalah Teroris! Sebuah Tinjauan Syari’at” karya Luqman bin Muhammad Baabduh, dimuat bab khusus berjudul “Hukum Al Isti’anah (Minta Bantuan) kepada Orang-Orang Kafir/Musyrik dalam rangka Menghadapi Kejahatan Orang-Orang Kafir”. Pembahasan dalam bab tersebut cukup panjang dan menghasilkan suatu kesimpulan, yaitu bahwa meminta batuan orang kafir dalam peperangan itu hukumnya boleh [1] .

Kitab Al-Qaulul Mukhtar fi Hukmi Al-Isti’anah bil Kuffar yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Ustadz Irwan Raihan dengan judul “Menggugat keberadaan Tentara Asing di Jazirah Arab” juga membahas tentang hukum meminta bantuan orang kafir dalam peperangan. Pembahasan tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa meminta bantuan orang kafir dalam peperangan hukumnya haram [2] .

Dengan adanya kesimpulan yang berbeda ini, penulis tertarik untuk membahas tema tersebut dalam bentuk penelitian ilmiah dan menulisnya dalam lembaran-lembaran makalah ini.

2. Rumusan masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah apa hukum meminta bantuan orang kafir dalam peperangan.

3. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian dalam makalah ini adalah mengetahui hukum meminta bantuan orang kafir dalam peperangan.

4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dengan segala hasilnya diharapkan akan bermanfaat bagi diri penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya:

4.1 Untuk meningkatkan wawasan dalam ilmu Ad-din, khususnya dalam bidang fikih.

4.2 Sebagai rujukan untuk peneliti berikutnya.

4.3 Untuk menghindari perbuatan mengikuti suatu pendapat tanpa mengetahui dalil yang jelas.

4.4 Melengkapi khazanah perpustakaan ma’had Al-Islam.

5. Metodologi Penelitian

5.1.Metode Pengumpulan Data, Sumber dan Jenis Data

Dalam mendapatkan data, penulis membaca, mempelajari dan memahami serta mencatat hal-hal yang berkaitan dengan masalah hukum meminta bantuan orang kafir dalam perang dari beberapa kitab tafsir, kitab hadits, kitab fikih dan kitab-kitab lain serta buku-buku yang berkaitan dengan masalah ini.

Data-data pada makalah ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya. [3] Misalnya hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud yang penulis dapatkan langsung dari kitabnya. Data sekunder adalah data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti. Jadi data sekunder berasal dari tangan kedua, ketiga dan seterusnya, artinya melewati satu atau lebih pihak yang bukan peneliti sendiri. [4]

5.2.Metode Analisis Data

Dalam menganalisis data yang ada dalam makalah ini, penulis pertama-tama memeriksa data-data yang berupa hadits-hadits tentang hukum meminta bantuan orang kafir dalam perang, apakah hadits-hadits itu shahih atau tidak. Setelah itu, penulis akan memeriksa data-data yang berupa pendapat ulama, mana di antara pendapat itu yang didasari hadits yang shahih, itulah yang akan menjadi kesimpulan dari pembahasan ini.

6. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran umum kepada pembaca mengenai isi makalah ini, berikut ini penulis jelaskan sistematika penulisan yang terdapat dalam makalah ini, yaitu:

Bagian pertama terdiri dari halaman judul, halaman pengesahan, halaman kata pengantar dan halaman daftar isi.

Kemudian bagian kedua, diawali dengan bab pertama yang berupa pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua berisi pembahasan tentang pendapat bolehnya meminta bantuan orang kafir dalam peperangan beserta hujjah-hujjah yang mendasarinya.

Berikutnya bab ketiga yang berisi pembahasan tentang haramnya meminta bantuan orang kafir dalam peperangan beserta hujjah-hujjah yang mendasarinya.

Selanjutnya bab keempat adalah analisis yang meliputi analisis tentang pendapat bolehnya meminta bantuan orang kafir dalam perang dan analisis tentang pendapat haramnya hal itu.

Kemudian bab penutup terdiri dari kesimpulan, saran-saran, dan kata penutup.

Selanjutnya daftar pustaka dan lampiran menjadi bagian terakhir dari makalah ini.


BAB II

PENDAPAT BOLEHNYA MEMINTA BANTUAN ORANG KAFIR DALAM PERANG DAN HUJJAH-HUJJAH YANG MENDASARINYA

1. Ulama Yang Berpendapat Bolehnya Meminta Bantuan Orang Kafir dalam Perang

Di antara para Ulama yang berpendapat bolehnya meminta bantuan orang kafir dalam peperangan adalah Imam Asy-Syafi’ie dan Abu Hanifah. Tentang pendapat Imam Asy-Syafi’ie, disebutkan dalam kitab Al-Umm sebagai berikut:

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى الَّذِيْ رَوَى مَالِكٌ كَمَا رَوَى رَدَّ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُشْرِكًا أَوْ مُشْرِكِيْنَ فِيْ غَزَاةِ بَدْرٍ وَأَبَى أَنْ يَسْتَعِيْنَ إِلاَّ بِمُسْلِمٍ ثُمَّ اسْتَعَانَ رَسُوْلُ اللهِ بَعْدَ بَدْرٍ بِسَنَتَيْنِ فِيْ غَزَاةِ خَيْبَرَ بِعَدَدٍ مِنْ يَهُوْدَ بَنِيْ قَيْنُقَاعَ كَانُوْا أَشِدَّاءَ وَاسْتَعَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ غَزَاةِ حُنَيْنٍ سَنَةَ ثَمَانٍ بِصَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ وَهُوَ مُشْرِكٌ فَالرَّدُّ الأّوَّلُ إِنْ كَانَ ِلأَنَّ لَهُ الْخِيَارَ أَنْ يَسْتَعِيَنَ بِمُسْلِمٍ [5] أَوْ يَرَدُّهُ كَمَا يَكُوْنُ لَهُ رَدُّ الْمُسْلِمِ مِنْ مَعْنًى يَخَافَهُ مِنْهُ أَوْ لِشِدَّةٍ بِهِ فَلَيْسَ وَاحِدٌ مِنَ الْحَدِيْثَيِْن مُخَالْفًا لِلأَخَرِ وَإِنْ كَانَ رَدُّه ُلأَِنَّهُ لَمْ يَرَ أَنْ يَسْتَعِيْنَ بِمُشْرِكٍ فَقَدْ نَسَخَهُ مَا بَعْدَهُ مِنْ اسْتِِعَانَتِهِ بِمُشْرِكِيْنَ فَلاَ بَأْسَ أَنْ يُسْتَعَانَ بِالْمُشْرِكِيْنَ عَلَى قِتَالِ الْمُشْرِكِيْنَ إِذَا خَرَجُوْا طَوْعًا وَيُرَضَّحُ لَهُمْ وَلاَ يُسْهَمُ لَهُمْ…[6]

Artinya:

Imam Asy-Syafi’ie -semoga Allah membelaskasihinya-mengatakan “Yang Malik riwayatkan, seperti dia meriwayatkan bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam menolak orang musyrik atau orang-orang musyrik dalam perang Badar dan enggan meminta bantuan kecuali kepada orang muslim, lalu dalam perang khaibar dua tahun sesudah perang Badar beliau meminta bantuan kepada sejumlah orang Yahudi Bani Qainuqa’ yang mereka adalah orang-orang kuat, dan dalam perang Hunain tahun kedelapan beliau meminta bantuan kepada Shafwan bin Umayyah padahal ia adalah orang musyrik, maka penolakan (bantuan orang musyrik) yang pertama kalau karena memang hak pilih beliau untuk meminta bantuan kepada orang musyrik atau menolaknya sebagimana beliau juga punya hak pilih untuk menolak orang muslim karena ada sesuatu yang dikhawatirkan darinya atau karena sikapnya yang keras, maka (dengan demikian) hadits-hadits itu tidaklah saling bertentangan. Dan jika penolakan beliau karena memang beliau tidak membolehkan meminta bantuan kepada orang musyrik, maka hal ini sudah dimansukh dengan kejadian sesudahnya, yaitu permintaan bantuan beliau kepada orang-orang musyrik. Maka tidak mengapa orang-orang musyrik diminta bantuannya untuk memerangi orang-orang musyrik lainnya, apabila mereka keluar dengan sukarela, dan mereka diberi upah tetapi tidak diberi bagian ghanimah….

Maksud pernyataan Imam Asy-Syafi’ie di atas adalah:

1. Jika diasumsikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhak memilih meminta bantuan orang musyrik atau menolak bantuannya, maka tidak ada pertentangan antara hadits yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak bantuan orang musyrik pada perang Badar dengan hadits-hadits yang menceritakan bahwa beliau meminta bantuan orang-orang Yahudi pada perang lainnya. Jadi, tidak ada masalah bila beliau pada suatu kali menolak bantuan orang musyrik dan pada kali lain beliau bahkan meminta bantuan kepada mereka.

2. Atau, dengan asumsi yang lain, yaitu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan meminta bantuan orang musyrik dalam perang, maka keharaman tersebut mansukh dengan hadits yang menunjukkan bolehnya hal itu.

3. Karena hal di atas, maka kesimpulannya adalah: meminta bantuan kepada orang-orang musyrik dalam perang itu hukumnya boleh dengan syarat mereka membantu dengan suka rela.

Tentang pendapat Imam Abu Hanifah, Ash-Shan’ani mengungkapkan sebagai berikut:

وَذَهَبَ الْهَادَوِيَّةُ وَأَبُوْ حَنِيْفَةَ وَأَصْحَابُهُ إِلَى جَوَازِ ذَلِكَ قَالُوْا : لأَِنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعَانَ بِصَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ يَوْمَ حُنَيْنٍ وَاسْتَعَانَ بِيَهُوْدِ بَنِىْ قَيْنُقَاعَ وَرَضَّحَ لَهُمْ . [7]

Artinya:

Dan ِAl-Hadawiyyah dan Abu Hanifah serta para sahabatnya berpendapat bolehnya hal itu (meminta bantuan orang kafir dalam peperangan). Mereka mengatakan, “Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta bantuan kepada Shafwan bin Umayyah pada hari Perang Hunain dan beliau meminta bantuan kepada Yahudi Bani Qainuqa’ dan memberi upah kepada mereka”.

2. Hujjah Yang Mendasari Pendapat Bolehnya Meminta Bantuan Orang Kafir dalam Perang

Dari berbagai kitab hadits dan fiqih yang penulis telaah, penulis mendapatkan bahwa hujjah yang menjadi dasar bolehnya meminta bantuan orang kafir dalam peperangan adalah sebagai berikut:

1. Hadits Ibnu ‘Abbas

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ اِسْتَعَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَهُوْدَ بَنِى قَيْنُقَاعَ فَرَضَحَ لَهُمْ وَلَمْ يُسْهِمْ لَهُمْ . ( رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ ) [8]

Artinya:

Dari Ibnu Abbas, bahwasannya dia berkata,“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta bantuan kepada Yahudi Bani Qainuqa’, maka beliau memberi upah kepada mereka dan tidak memberi bagian (ghanimah) kepada mereka. (HR. Asy-Syafi’ie)

Hadits di atas berderajat dla’if (lihat lampiran).

Pengertian yang dapat diambil dari hadits tersebut adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta bantuan kepada orang Yahudi Bani Qainuqa’ dan memberi upah kepada mereka, tapi tidak memberi mereka bagian dari harta ghanimah.

Telah disebutkan pada ungkapan Ash-Shan’ani di atas bahwa hadits ini adalah satu di antara dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya meminta bantuan orang kafir dalam peperangan.

2. Hadits Az-Zuhri

عَنٍ الزُّهْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعَانَ بِنَاسٍ مِنَ الْيَهُوْدِ فِيْ خَيْبَرَ فِيْ حَرْبِهِ فَأَسْهَمَ لَهُمْ . ( رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ ) [9]

Artinya

Dari Az-Zuhri bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta bantuan orang-orang dari kalangan Yahudi di Khaibar dalam perangnya, lantas beliau memberi bagian (harta ghanimah) kepada mereka. (HR. Abu Dawud)

Hadits di atas adalah hadits mursal (lihat lampiran).

Pengertian yang dapat diambil dari hadits tersebut adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta bantuan kepada beberapa orang dari kalangan Yahudi Khaibar dalam peperangan yang beliau lakukan dan memberi mereka bagian dari harta ghanimah.

3. Hadits Dzu Mikhbar

عَنْ ذِى مِحْبَرٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :سَتُصَالِحُوْنَ الرُّوْمَ صُلْحًا آمِنًا تَغْزُوْنَ أَنْتُمْ وَهُمْ عَدُوًّا مِنْ وَرَائِكُمْ . ( رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ ) [10]

Artinya:

Dari Dzu Mikhbar, dia berkata: aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ”Kalian akan berdamai dengan Bangsa Romawi dengan perdamaian yang aman, kalian dan mereka akan memerangi musuh di depan kalian”. (HR. Abu Dawud)

Hadits ini adalah hadits shahih (lihat lampiran)

Pengertian yang dapat diambil dari hadits ini adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan akan terjadinya perdamaian antara kaum muslimin dengan Bangsa Ramawi dan juga mengabarkan akan adanya kebersamaan mereka dalam pertempuran melawan musuh mereka bersama.

4. Keikutsertaan Qazman di barisan kaum muslimin dalam perang Uhud padahal ia saat itu adalah orang musyrik

Peristiwa ini disebutkan oleh Imam Asy-Syaukani sebagai salah satu hal yang menunjukkan bolehnya meminta bantuan orang kafir dalam peperangan. Berikut ungkapan beliau:

وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى جَوَازِ الإِْسْتِعَانَةِ بِالْمُشْرِكِيْنَ أَنَّ قَزْمَانَ خَرَجَ مَعَ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أُحُدٍ وَهُوَ مُشْرِكٌ فَقَتَلَ ثَلاَثَةً مِنْ بَنِيْ عَبْدِ الدَّارِ حَمَلَةِ لِوَاءِ الْمُشْرِكِيْنَ حَتَّى قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهُ لَيُأَزِّرُ هَذَا الدِّيْنَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِكَمَا ثَبَتَ ذَلِكَ عِنْدَ أَهْلِ السِّيَرِ . [11]

Artinya:

Dan di antara apa-apa yang menunjukkan bolehnya meminta bantuan kepada orang-orang musyrik adalah bahwa Qazman keluar bersama para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Perang Uhud padahal ia adalah orang musyrik, lantas ia membunuh tiga orang dari Bani Abdid-Dar, pembawa bendera orang-orang musyrik sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya Allah sungguh menguatkan dien ini dengan laki-laki pendosa”, sebagaimana (kisah) itu tetap di kalangan ahli sejarah.

5. Keluarnya Bani Khuza’ah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam penaklukan kota Makkah

Kisah ini juga disebutkan Imam Asy-Syaukani sebagai satu di antara hal-hal yang menunjukkan bolehnya meminta bantuan orang kafir. Berikut kata beliau setelah mengatakan ungkapan di atas (no.4):

وَخَرَجَتْ خُزَاعَةُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى قُرَيْشٍ عَامَ الْفَتْحِ .[12]

Artinya:

Dan Bani Khuza’ah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melawan orang-orang Quraisy pada tahun Al-Fath (Fathu Makkah)

6. Permintaan bantuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Shafwan bin Umayyah pada perang Hunain, padahal ia saat itu masih musyrik.

Imam Asy-Syafi’ie mengungkapkan kisah ini dalam kitabnya Al-Umm sebagai berikut:

وَاسْتَعَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ غَزَاةِ حُنَيْنٍ سَنَةَ ثَمَانٍ بِصَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ وَهُوَ مُشْرِكٌ [13]

Artinya:

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta bantuan kepada Shafwan bin Umayyah dalam perang Hunain tahun kedelapan padahal ia adalah orang musyrik.

Telah disebutkan pada bagian atas (lihat halaman 6) bahwa kisah ini adalah salah satu alasan bagi Abu Hanifah dan para sahabatnya untuk pendapat bolehnya meminta bantuan orang kafir dalam perang.


BAB III

PENDAPAT HARAMNYA MEMINTA BANTUAN ORANG KAFIR DALAM PERANG DAN HUJJAH-HUJJAH YANG MENDASARINYA

1. Ulama yang Berpendapat Haramnya Meminta Bantuan Orang Kafir dalam Perang

Di antara ulama yang berpendapat haramnya meminta bantuan orang kafir dalam peperangan adalah Imam Ahmad dan Imam Malik, hanya saja Imam Malik mengecualikan orang-orang kafir yang menjadi pelayan kaum muslimin. Sayyid Sabiq menyebutkan hal ini dalam kitabnya, Fiqhus-Sunnah sebagai berikut:

وَأَمَّا قِتَالُ الْكَفَرَةِ مَعَ الْمُسْلِمِيْنَ فَاخْتَلَفَ فِيْهَا آرَاءُ الْفُقَهَاءِ : فَقَالَ مَالِكٌ وَ أَحْمَدُ : ” لاَ يَجُوْزُ أَنْ يُسْتَعَانَ بِهِمْ وَلاَ أَنْ يُعَاوِنُوْا عَلَى الإِطْلاِقِ “

قَالَ مَالِكٌ ” إِلاَّ أَنْ يَكُوْنُوْا خُدًَّامًا لِلْمُسْلِمِيْنَ، فَيَجُوْزُ ” [14]

Artinya:

Dan adapun berperangnya orang-orang kafir bersama kaum muslimin, maka pendapat para fuqaha tentang hal ini berbeda-beda: Malik dan Ahmad berkata “Tidak boleh mereka dimintai bantuan dan tidak boleh juga mereka membantu secara mutlak”

Berkata Malik “Kecuali jika mereka (orang-orang kafir yang dimintai bantuan) menjadi para pelayan orang-orang Islam, maka itu boleh”.

Imam Asy-Syaukani juga berpendapat haramnya meminta bantuan orang kafir secara mutlak. Berikut pernyataan beliau:

وَالْحَاصِلُ أَنَّ الظَّاهِرَ مِنَ اْلأَدِلَّةِ عَدَمُ جَوَازِ الإِسْتِعَانَةِ بِمَنْ كَانَ مُشْرِكًا مُطْلَقًا[15]

Artinya:

Walhasil, yang nampak dari dalil-dalil adalah tidak bolehnya meminta bantuan orang musyrik secara mutlak.

2. Hujjah Yang Mendasari Pendapat Haramnya Meminta Bantuan Orang Kafir dalam Perang

1. Hadits ‘Aisyah

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ : خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قِبَلَ بَدْرٍ ، فَلَمَّا كَانَ بِحَرَّةِ الْوَبَرَةِ أَدْرَكَهُ رَجُلٌ قَدْ كَانَ يُذْكَرُ مِنْهُ جُرْأَةٌ وَنَجْدَةٌ ، فَفَرِحَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلََّمَ حِيْنَ رَأَوْهُ ، فَلَّمَا أَدْرَكَهُ قَالَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: جِئْتُ ِلأَتَّبِعَكَ وَ أُصِيْبَ مَعَكَ ، قَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : تُؤْمِنُ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ؟ قَالَ لاَ ، قَالَ : فَارْجِعْ فَلَنْ أَسْتَعِيْنَ بِمُشْرِكٍ ، قَالَتْ ثُمَّ مَضَي حَتَّي إِذَا كُنَّا بِالشَّجَرَةِ أَدْرَكَهُ الرَّجُلُ فَقَالَ لَهُ كَمَا قَالَ أَوَّلَ مَرَّةٍ فَقَالَ لَهُ النَِّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا قَالَ أَوَّلَ مّرَّةٍ قَالَ فَارْجِعْ فَلَنْ أَسْتَعِيْنَ بِمُشْرِكٍ قَالَْ : ثُمَّ َرَجَعَ فَأَدْرَكَهُ بِالْبَيْدَاءِ فَقَالَ لَهُ كَمَا قَالَ أَوَّلَ مَرَّةٍ :تُؤْمِنُ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ؟ قَالَ نَعَمْ فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَانْطَلِقْ ( رَوَاهُ مُسْلِمٌ ) [16]

Artinya:

Dari ‘Aisyah istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia berkata “Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam keluar ke arah Badar. Maka tatkala beliau di Harratul Wabarah, seorang laki-laki yang dikenal akan keberanian dan kedahsyatannya mendapatinya. Maka para Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bergembira saat melihatnya. Tatkala mendapati beliau, laki-laki itu berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “Aku datang untuk mengikutimu dan menyerang bersamamu”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya “Apakah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?”. “Tidak”, jawab laki-laki itu. “Maka kembalilah! Aku tidak akan minta bantuan kepada orang musyrik”, kata beliau. Berkata (‘Aisyah)”Lalu beliau berlalu, sehingga tatkala kami sampai di Asy-Syajarah laki-laki tadi mendapatinya. Dia mengatakan sebagaimana yang dikatakan pertama kali. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun juga mengatakan sebagaimana yang beliau katakan pertama kali. Beliau bersabda “Maka kembalilah, aku tidak akan minta bantuan seorang musyrik”. Berkata (rawi) ”Kemudian dia kembali, lalu mendapatinya di Baida’. Beliau berkata kepadanya seperti yang dikatakan pertama kali “Apakah kau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?”. Dia berkata “Ya”. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya “Maka berangkatlah””. (HR.Muslim)

Hadits ini adalah hadits shahih (lihat lampiran).

Salah satu pengertian yang dapat diambil dari hadits ini adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh pulang seorang musyrik yang ingin bergabung dengan beliau dalam perang Badar dan menyatakan bahwa beliau tidak akan meminta bantuan kepada orang musyrik.

2. Hadits Khubaib bin ‘Abdurrahman

عَنْ خُبَيْبٍ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَسَلَّمَ فِيْ بَعْضِ غَزَوَاتِهِ فَأَتَيْتُهُ أَنَا وَرَجُلٌ قَبْلَ أَنْ نُسْلِمَ فَقُلْنَا إِنَّا نَسْتَحْيِي أَنْ يَشْهَدَ قَوْمُنَا مَشْهَدًا لاَ نَشْهَدُ ، فَقَالَ ءَاسْلَمْتُمَا ؟ قُلْنَا لاَ ، قَالَ فَإِنَّا لاَ نَسْتَعِيْنُ بِالْمُشْرِكِيْنَ عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ فَأَسْلَمْنَا وَشَهِدْناَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَسَلَّمَ . ( رَوَاهُ الْحَاكِمُ ) [17]

Artinya:

Dari Khubaib bin Abdurrahman dari ayahnya dari kakeknya dia berkata “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa `alihi wa sallam keluar di sebagian peperangannya, lantas aku dan seorang laki-laki mendatangi beliau sebelum kami masuk Islam. Lantas kami katakan “Kami malu kaum kami ikut dalam suatu pertempuran, sedangkan kami tidak ikut”. Beliau bersabda “Sudahkah kalian masuk Islam?” Kami katakan “tidak!” Beliau bersabda “Maka sesungguhnya kami tidak meminta bantuan kepada orang-orang musyrik untuk menghadapi orang-orang musyrik”. Lantas kami masuk Islam dan menyertai Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa `alihi wa sallam. (HR. Al-Hakim)

Hadits ini dalam sanadnya ada kedla’ifan (lihat lampiran).

Salah satu pengertian yang dapat diambil dari hadits ini adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak bantuan dua orang musyrik seraya mengatakan bahwa beliau tidak meminta bantuan kepada orang-orang musyrik untuk melawan orang-orang musyrik lainnya.

3. Hadits Abu Humaid As-Sa’idi

عَنْ أَبِىْ حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى إِذَا خَلَفَ ثَنِيَّةَ الوَدَاعِ إِذَا كَتِيْبَةٌ قَالَ مَنْ هَؤُلاَءِ قَالُوْا بَنُوْ قَيْنُقَاعَ وَهُوَ رَهْطُ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَلاَمٍ قَالَ وَأَسْلَمُوْا قَالُوْا لاَ،بَلْ هُمْ عَلَى دِيْنِهِمْ قَالَ قُلْ لَهُمْ فَلْيَرْجِعُوْا فَإِنَّا لاَ نَسْتَعِيْنُ بِالْمُشْرِكِيْنَ . ( رَوَاهُ الْحَاكِمُ ) [18]

Artinya:

Dari Abu humaid AsSa’idi ra. berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar sehingga tatkala beliau meninggalkan Saniyyatul Wada’ tiba- tiba ada satu batalyon. Beliau bersabda “Siapa mereka?” Mereka (para shahabat, pent) menjawab “Banu Qainuqa’, yaitu golongan Abdullah bin Salam”. Beliau bersabda “Mereka telah masuk Islam?” Mereka menjawab “Tidak, bahkan mereka tetap di atas agama mereka”. Beliau bersabda “Katakan kepada mereka, hendaklah mereka kembali, karena sesungguhnya kami tidak akan meminta bantuan orang-orang musyrik””.

Hadits ini dalam sanadnya ada kedla’ifan (lihat lampiran).

Salah satu pengertian yang dapat diambil dari hadits ini adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak bantuan Bani Qainuqa’ yang saat itu belum masuk Islam seraya mengatakan bahwa beliau tidak meminta bantuan kepada orang-orang musyrik.


BAB IV

ANALISIS

1. Analisis Pendapat Bolehnya Meminta Bantuan Orang Kafir dalam Perang.

Dalam menganalisis pendapat bolehnya meminta bantuan orang kafir dalam perang, akan dikemukakan terlebih dahulu pembicaraan tentang hujjah-hujjah yang mendasari pendapat ini:

1.1 Hadits ‘Ibnu Abbas tentang Permintaan Bantuan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Orang-Orang Yahudi Bani Qainuqa’ [19]

Hadits ini tergolang hadits yang tidak dapat diterima karena statusnya sebagai hadits dla’if (lihat lampiran).

1.2 Hadits Az-Zuhri tentang Permintaan Bantuan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Orang-Orang Yahudi di Khaibar [20]

Hadits ini juga tergolong hadits yang tidak dapat diterima karena statusnya sebagai hadits mursal. Hadits mursal termasuk hadits yang tertolak (lihat lampiran).

1.3 Hadits Dzu Mikhbar tentang Kabar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Bahwa Kaum Muslimin akan Bersama-sama dengan Bangsa Romawi dalam Memerangi Musuh Mereka [21]

Hadits ini adalah hadits shahih (lihat lampiran)

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memang mengabarkan akan adanya kebersamaan kaum muslimin dengan Bangsa Romawi dalam memerangi musuh mereka. Akan tetapi, tidak ada pernyataan dalam hadits tersebut yang menyebutkan bahwa kaum muslimin meminta bantuan kepada Bangsa Romawi dalam peperangan tersebut. Dengan demikian, tidak dapat dikatakan bahwa hadits ini menunjukkan bolehnya meminta bantuan kepada orang kafir dalam perang.

Selain itu, bila diasumsikan bahwa kaum muslimin meminta bantuan kepada Bangsa Romawi dalam peperangan tersebut, tidak ada pernyataan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa hal tersebut baik atau dibolehkan. Bahkan, dalam hadits ‘Aisyah yang shahih (lihat bab 3, hlm. 11), beliau sendiri menolak keinginan seorang musyrik untuk bersama-sama dengan pasukan Islam dalam perang Badar dan mengatakan kepadanya “Kembalilah, aku tidak akan meminta bantuan kepada orang musyrik”.

1.4 Peristiwa Keikutsertaan Qazman bersama Kaum Muslimin dalam Perang Uhud [22]

Sepanjang penelitian penulis, tidak ditemukan satu riwayat pun yang menjadi sandaran kebenaran peristiwa tersebut. Karena itu, kisah tersebut tidak dapat dijadikan sebuah hujjah.

Selain itu, apabila diasumsikan bahwa kisah itu benar-benar terjadi, penulis tidak mendapatkan dari kitab-kitab yang penulis baca selama penelitian bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memintanya untuk membantu kaum muslimin dalam perang Uhud tersebut. Dengan demikian, tidak dapat disimpulkan dari kejadian tersebut bahwa meminta bantuan orang musyrik dalam peperangan hukumnya boleh.

1.5 Peristiwa Keluarnya Banu Khuza’ah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam Penaklukan Kota Makkah [23]

Sepanjang penelitian, penulis tidak mendapatkan satu kitab pun yang menyebutkan bahwa Banu Khuza’ah menyertai kaum muslimin dalam menaklukan kota Makkah selain kitab Nailul Authar. Namun, dengan asumsi Bani Khuza’ah ikut serta dalam peristiwa itu, penulis mendapatkan indikasi yang menunjukkan bahwa mereka sudah masuk Islam sebelum terjadinya penaklukan kota Makkah, sehingga keikutsertaan mereka dalam peristiwa itu tentunya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan hal bolehnya meminta bantuan orang kafir dalam perang. Indikasi tersebut adalah:

1.5.1 Pasca penyerangan Bani Bakr terhadap Bani Khuza’ah, yang terjadi sebelum peristiwa penaklukan kota Makkah, seseorang dari Bani Khuza’ah bernama ‘Amr bin Salim datang menemui beliau untuk memberitahu kasus penyerangan tersebut. Dalam pertemuan tersebut ‘Amr bin Salim melantunkan beberapa bait syair, diantara isinya adalah:

– ثَمَّتَ أَسْلَمْنَا فَلَمْ نَنْزَعْ يَدَا

– وَقَتَلُوْنَا رُكَّعًا وَسُجَّدَا [24]

Artinya:

-Di sana kami masuk Islam maka kami tidak akan mencabut tangan (bai’at).

-Dan mereka (Bani Bakr) membunuh kami dalam keadaan ruku’ dan sujud.

1.5.2 Allah berfirman:

قَاتِلُوْهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللهُ بِأَيْدِيْكُمْ وَيُخْزِهِمُ وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمَ وَيَشْفِ صُدُوْرَ قَوْمٍ مُؤْمِنِيْنَ

Artinya:

Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka melalui tangan-tangan kalian, menghinakan mereka, menolong kalian atas meraka serta menyembuhkan hati-hati orang-orang beriman.

Beberapa ahli tafsir, yaitu Mujahid, Ikrimah dan As-Sudy menerangkan bahwa yang dimaksud orang-orang beriman (قَوْمٍ مُؤِِْمنِيْنَ ) dalam ayat di atas adalah Bani Khuza’ah

Ibnu Katsir mengatakan:

وَقَالَ مُجَاهِدٌ وَ عِكْرِمَةُ وَالسُّدِيُ فِيْ هَذِهِ الآيَةِ ﴿ وَيَشْفِ صُدُوْرَ قَوْمٍ مُؤْمِنِيْنَ يَعْنِيْ خُزَاعَةَ . [25]

Artinya:

Mujahid, ‘Ikrimah dan As-Sudi mengatakan tentang ayat ini: ((Dan niscaya Dia (Allah) akan menyembuhkan hati-Hati kaum yang beriman)),” yakni Bani Khuza’ah”.

Ayat di atas turun sebelum terjadinya penaklukan kota Makkah (lihat lampiran). Dengan demikian, keterangan bahwa yang dimaksud قَوْمٍ مُؤْمِنِيْنَ dalam ayat di atas adalah Bani Khuza’ah, menunjukkan bahwa mereka telah beriman sebelum terjadinya peristiwa tersebut.

1.6 Peristiwa Permintaan Bantuan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Shafwan bin Umayyah dalam Perang Hunain [26] .

Kisah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta bantuan kepada Shafwan bin Umayyah dalam perang Hunain tidak penulis dapatkan selain dari kitab Al-Umm (lihat bab 2, hlm. 4) dan Subulussalam (lihat bab 2, hlm. 6). Tidak disebutkan pada kedua kitab itu satu riwayat pun yang dijadikan sandaran bagi kebenaran kisah tersebut. Karena itu, kisah ini tidak dapat dijadikan hujjah.

Dari analisis di atas, tampaklah bahwa tidak ada satupun di antara enam hujjah di atas yang menjadi landasan kuat untuk pendapat bolehnya meminta bantuan orang kafir dalam perang. Karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa pendapat ini tidak benar.

Adapun tentang perkataan Imam Asy-Syafi’ie yang menyatakan bahwa hadits yang menunjukkan haramnya meminta bantuan orang kafir mansukh dengan riwayat-riwayat yang menunjukkan bolehnya hal itu [27] , penulis katakan bahwa hal itu tidak bisa diterima. Sebab, sebagaimana telah disebutkan, semua riwayat yang menunjukkan bolehnya meminta bantuan orang kafir dalam perang derajatnya dla’if, sedangkan riwayat yang menunjukkan haramnya hal itu berderajat shahih. Riwayat dla’if tidak dapat menasakh riwayat shahih meskipun riwayat yang shahih tersebut datangnya lebih dulu dari pada riwayat dla’if itu.

Adapun perkataan beliau bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki hak untuk memilih antara meminta bantuan orang musyrik dan menolak bantuannya [28] , penulis katakan bahwa hal itu juga tidak dapat diterima. Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri sudah menetapkan bahwa beliau tidak akan meminta bantuan kepada orang musyrik sebagaimana yang akan diterangkan pada analisis pendapat haramnya meminta bantuan orang kafir dalam perang. Penetapan ini berarti peniadaan hak untuk memilih selain apa yang telah ditetapkan, yaitu tidak meminta bantuan kepada oran kafir.

Adapun pendapat Imam Malik yang membolehkan meminta bantuan orang kafir yang menjadi pelayan kaum muslimin [29] , penulis tidak mendapatkan dalil yang mendasari pendapat ini. Karena itu, pendapat ini tertolak.

2. Analisis Pendapat Haramnya Meminta Bantuan Orang Kafir dalam Perang

Adapun tentang haramnya meminta bantuan orang kafir dalam peperangan, berikut analisis hujjah-hujjah yang mendasarinya:

2.1 Hadits ‘Aisyah tentang Penolakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap Bantuan Seorang Musyrik dalam Pertempuran dan Pernyataan Beliau “Aku tidak akan Meminta Bantuan kepada Orang Musyrik” [30]

Hadits ini berderajat shahih (lihat lampiran)

Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan ketika sedang dalam perjalanan ke arah Badar kepada orang musyrik yang ingin menyertai beliau dalam peperangan:

فَارْجِعْ فَلَنْ أَسْتَعِيْنَ بِمُشْرِِِِكٍٍٍٍٍٍٍ [31]

Artinya:

Kembalilah, aku tidak akan meminta bantuan kepada orang musyrik.

.

Pernyataan yang beliau ucapan kepada orang musyrik yang ingin ikut serta dalam peperangan bersama kaum muslimin ini merupakan suatu ketetapan bahwa beliau tidak akan meminta bantuan kepada orang musyrik dalam perang. Artinya, beliau mengharamkan bagi dirinya untuk meminta bantuan kepada orang musyrik dalam perang.

Selain perbuatan yang dikhususkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [32] , apa yang beliau lakukan merupakan contoh yang sepatutnya diikuti kaum muslimin sebagai bentuk pengamalan dari firman Allah:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا ( الأَحْزَابُ : 21 )

Artinya:

Dan sungguh benar-benar bagi kalian pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik, bagi orang yang mengharapkan Allah dan Hari Akhir dan ingat kepada Allah banyak-banyak. (Q.S. Al-Ahzab: 21)

Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya setelah menyebutkan ayat ini:

أَي : هَلاَّ اقْتَدَيْتُمْ بِهِ وَتَأَسَّيْتُمْ بِشَمَائِلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ [33]

Artinya:

Maksudnya: tidakkah kalian meneladaninya (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan mengikuti watak-watak beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ?

Berkenaan dengan keharaman meminta bantuan kepada orang kafir dalam perang, penulis tidak menemukan satu dalil pun yang menunjukkan bahwa hukum ini khusus bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian, keharaman ini juga berlaku bagi umatnya.

2.2 Hadits Khubaib bin ‘Abdurrahman tentang Penolakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap Dua Orang Musyrik yang Ingin Menyertai Beliau dalam Peperangan dan Pernyataan beliau Bahwa Beliau tidak Meminta Bantuan kepada Orang-Orang Musyrik Untuk Melawan Orang-Orang Musyrik Lainnya [34]

Hadits ini berderajat dla’if (lihat lampiran).

Dalam hadits ini, jelas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa beliau tidak meminta bantuan kepada orang-orang musyrik dalam untuk menghadapi orang-orang musyrik lainnya. Sebagai mana di atasnya, ketetapan ini tidak khusus bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, tapi juga berlaku bagi umatnya. Sebab, tidak ditemukan dalil yang mengkhususkan hukum ini bagi beliau saja.

2.3 Hadits Abu Humaid tentang Pernyataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Bahwa Beliau Tidak Meminta Bantuan kepada Orang-Orang Musyrik [35]

Dalam hadits ini, jelas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa beliau tidak meminta bantuan kepada orang-orang musyrik. Sebagai mana di atasnya, ketetapan ini tidak khusus bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, tapi juga berlaku bagi umatnya. Sebab, tidak ditemukan dalil yang mengkhususkan hukum ini bagi beliau saja.

Dari analisis di atas, tampak bahwa hadits ‘Aisyah yang merupakan salah satu hujjah yang mendasari pendapat haramnya meminta bantuan orang kafir dalam perang ini adalah hadits shahih. Karena itu, pendapat ini dapat diterima. Adapun dua hadits yang lain, yang juga menunjukkan haramnya meminta bantuan orang musyrik dalam perang, yaitu hadits Khubaib bin ‘Abdurrahman dan Abu Humaid, meskipun dalam sanadnya ada kedla’ífan, hal tersebut tidak mempengaruhi kekuatan pendapat ini, sebab hadits ‘Aisyah itu sendiri sudah cukup untuk menjadi landasan yang kuat bagi pendapat ini.


BAB V

PENUTUP

1. Kesimpulan

Meminta bantuan kepada orang kafir dalam perang hukumnya haram.

2. Saran-saran

2.1 Dalam memutuskan suatu perkara, lebih-lebih lagi yang berkaitan dengan kemaslahatan umat, hendaklah mengikuti petunjuk yang datang dari Allah dan Rasul-Nya.

2.2 Hendaklah kaum muslimin yang bergerak di kancah peperangan tidak meminta bantuan kepada orang-orang kafir dalam peperangan.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Al-Qur’anul Karim
  2. Abu Dawud, Sulaiman bin Asy’ats, As-Sijistani, Al-Azdi, Al-Imam, Al-Hafidh, Al-Mushannif, Al-Mutqin, Al-Marasil, Darul Fikr, Beirut-Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1994 M / 1414 H.
  3. Abu Dawud, Sulaiman bin Asy’ats, As-Sijistani, Al-Azdi, Al-Imam, Al-Hafidh, Al-Mushannif, Al-Mutqin, Sunan Abi Dawud, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Cet.I, 1990 M / 1410 H.

4. Adz-Dzahabi, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman, Mizan Al-I’tidal fi Naqd Ar-Rijal, Dar Al-Ma’rifah, Cet. I, Beirut, Lebanon, 1382 H / 1963 M.

  1. Al-Hakim, Al-Mustadrak Ala Ash-Shahihaini, Maktab Al-Mathbu’at Al-Islamiyah, Beirut-Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
  2. Asy-Syaukani, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad, As-Syaikh, Al-‘Allamah, Nail Al-Authar min Ahaditsi sayyid Al-Akhyar Syarhu Muntaqa Al-Akhbar, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut – Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1999 M / 1420 H.
  3. As-Sa’dy, Abdurrahman Nasir, Al-‘Alamah, Asy-Syaikh, Taisir Al-Karim Ar-Rahim fi Kalam Al-Mannan, Dar Al-Fikr, Beirut-Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1995 M/1415 H.
  4. Ash-Shan’ani, Muhammad bin Isma’il, Al-Kahlani, As-Sayyid, Al-Imam, Al-Amir, Subul Assalam, Maktabah Dahlan, Bandung, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
  5. Asy-Syafi’ie, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris, Al-Imam, Al-Umm, Dar Al-Fikr, Beirut, Cet.II, 1983 M / 1403 H .
  6. Ath-Thahhan, Mahmud, Ad-Duktur, Taisir Al-Mushthalah Al-Hadits, Dar Al-Fikr, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Nama Kota, Tanpa Tahun.
  7. Ibnu Abi Hatim, Abi Muhammad ‘Abdurrahman Ar-Razi, Al-Jarh wa At-Ta’dil, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet. I, Beirut, Lebanon, 1271 H / 1952 M.
  8. Ibnu Katsir, Abul Fida’, Ad-Dimasqi, Al-Imam, Al-Hafidh, Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiah, Beirut-Lebanon, Cet.II, 2001 M / 1422 H.
  9. Ibnu Katsir, Abul Fida’, Ad-Dimasqi, Al-Imam, Al-Hafidh, Al-Bidayah Wa An-Nihayah, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiah, Beirut-Lebanon, Cet.II, 1997 M / 1418 H
  10. Ibnu Hajar, Abul Fadl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar, Al-Asqalani, Al-Imam, Al-Hafidh, Al-Hujjah, Syaikhul Islam, Syihabuddin, Tahdzib At-Tahdzib, Mathba’atu Majlisi Da`iratil Ma’arifin Nidhamiyyah, Haidar Abad-India, Cet.I, 1326 H.
  11. Ibnu Hajar, Ahmad bin ‘Ali, Al-‘Asqalani, Al-Hafidh, Syihabuddin, Taqrib At-Tahdzib, Dar Al-Fikr, Tanpa Nama Kota, Cet.I, 1415 H / 1995 M.
  12. Ibnu Al-Atsir, ‘Izzuddin Abu Al-Hasan ‘Ali bin Muhammad Al-Jazari, Usd Al-Ghabah fi Ma’rifah Ash-Shahabah, Dar Al-Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
  13. Luqman bin Muhammad Baabduh, Mereka Adalah Teroris, Pustaka Qaulun Syadida, Malang, Cet.II, 2005 M / 1426 H.
  14. Muslim bin Hajjaj bin Muslim, Abu Husain, Al-Qusyairi, An-Naisaburi, Al-Imam, Al-Jami’ush Shahih, Darul Fikr, Beirut – Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
  15. Marzuki, Drs., Metodologi Riset, BPFE – UII: Yogyakarta, Cet. VII, Mei 2000.
  16. Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, Beirut-Libanon, Cet.III, 1977 M / 1397 H
  17. Syaikh Hamud bin ‘Aqla, Menggugat Keberadaan Tentara Asing di Jazirah, Pustaka Al-‘Alaq, Solo, Cet.I, 2005 M / 1426 H.


LAMPIRAN

1. Hadits Ibnu ‘Abbas

Hadits ini diriwayatkan Imam As-Syafi’íe dalam kitabnya Al-Umm. Urut-urutan rawi dalam sanad hadits ini adalah:

1) As-Syafi’íe,

2) Hasan bin ‘Umarah [36] ,

3) Al-Hakm bin ‘Utaibah [37] ,

4) Miqsam bin Bujrah [38] ,

5) Ibnu ‘Abbas [39] .

Semua rawi di atas adalah tsiqat kecuali Hasan bin ‘Umarah. Banyak dari kalangan ahli hadits mencelanya dengan celaan yang keras dalam periwayatan hadits dan tidak ada seorang pun yang mentsiqatkannya. Sebagai contoh, Imam Muslim, Abu Hatim, An-Nasa’i dan Ad-Daruquthni menyebutnya sebagai rawi yang matrukul hadits [40] .

Syu’bah mengatakan,“Barang siapa yang ingin melihat paling dustanya manusia hendaklah ia melihat kepada Hasan bin ‘Umarah” [41]

Ibnu Hajar dalam Taqribut-Tahdzib menyimpulkan bahwa Hasan bin ‘Umarah adalah rawi matruk [42].

Walhasil, Hasan bin ‘Umarah adalah rawi dla’if, karena itulah hadits ini adalah hadits dla’if.

2. Hadits Az-Zuhri

Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dalam kitab Al-Marasil [43] . Urut-urutan rawi dalam sanad hadits ini adalah:

1) Abu Dawud,

2) Sa’id bin Manshur [44] ,

3) Sufyan bin ‘Uyainah [45] ,

4) Yazid bin Yazid bin Jabir [46] ,

5) Az-Zuhri [47] .

Semua rawi di atas adalah rawi tsiqat. Hanya saja, hadits ini adalah hadits mursal, sebab Az-Zuhri, yang adalah seorang tabi’in, menceritakan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menyebutkan sahabat mana yang menyampaikan kisah itu kepadanya. Hadits Mursal termasuk hadits dla’if [48] .

3. Hadits Dzu Mikhbar

Urut-urutan rawi dalam sanad hadits ini adalah:

1) Abu Dawud

2) Abdullah bin Muhammad An-Nufaily [49],

3) ‘Isa bin Yunus bin Abi Ishaq As-Sabi’ie [50],

4) ‘Abdurrahman bin ‘Amr bin Abi ‘Amr ‘Al-Auza’íe [51],

5) Hassan bin ‘Athiyyah [52] , Makhul Asy-Syamie [53] , Abdullah bin Abi Zakariya Al-Khaza’ie [54] ,

6) Khalid bin Ma’dan [55] , Jubair bin Nufair [56] ,

7) Dzu Mikhbar [57]

Semua rawi di atas adalah rawi tsiqat. Sanadnya tidak ada yang terputus. Sepanjang penelitian, penulis tidak menemukan ‘illah (cacat) dan syadz (keganjilan) dalam hadits ini. Karena itu, penulis simpulkan bahwa hadits ini adalah hadits shahih.

4. Hadits ‘Aisyah

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya. Kitab Shahih Muslim dan juga kitab Shahih Bukhari merupakan kitab yang paling shahih sesudah Al-Qur’an. Umat pun bermufakat untuk menerima hadits-hadits dalam kedua kitab shahih tersebut [58] . Karena itu, tidak perlu dipersoalkan lagi bahwa hadits ini adalah hadits shahih.

5. Hadits Khubaib bin ‘Abdurrahman

Hadits ini diriwayatkan Imam Al-Hakim [59] . Urut-urutan rawi dalam sanadnya adalah:

1) Al-Hakim,

2) Mukarram bin Ahmad Al-Qadli [60] ,

3) Abdullah bin Ar-Ruh Al-Madayani [61],

4) Yazid bin Harun [62] ,

5) Al-Mustalim bin Sa’d Ats-Tsaqafi [63] ,

6) Khubaib bin ‘Abdurrahman bin Khubaib bin Yasaf [64] ,

7) ‘Abdurrahman bin Khubaib bin Yasaf [65] ,

8) Khubaib bin Yasaf [66] .

Selain Mukarram bin Ahmad Al-Qadli dan Abdullah bin Ar-Ruh Al-Madayani yang tidak penulis dapatkan namanya dalam kitab-kitab rijal yang penulis baca, semua rawi di atas tsiqat kecuali ‘Abdurrahman bin Khubaib bin Yasaf. Tidak ada seorang rawipun yang meriwayatkan dari dia kecuali anaknya, yaitu Khubaib bin ‘Abdurrahman. Rawi seperti ini disebut sebagai rawi majhul ‘ain. Dalam kitab Taisir Musthalahil Hadits disebutkan definisi majhul ‘ain sebagai berikut:

هُوَ مَنْ ذُكِرَ اسْمُهُ وَلَكِنْ لَمْ يَرْوِ عَنْهُ إِلاَّ رَاوٍ وَاحِدٌ [67]

Artinya:

Dia (majhul ‘ain) adalah orang yang disebut namanya, tapi tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali seorang rawi.

Hadits yang diriwayatkan rawi majhul ‘ain hukumnya dla’if atau tertolak kecuali jika rawi tersebut ditsiqatkan [68] . Penulis tidak mendapatkan seorang ahli hadits pun yang mentsiqatkan ‘Abdurrahman bin Khubaib bin Yasaf. Karena itu, hadits ini tidak dapat diterima.

6. Hadits Abu Humaid As-Sa’idi

Hadits ini diriwayatkan Al-Hakim [69] . Urut-urutan rawi dalam sanad hadits ini adalah:

1) Al-Hakim,

2) Ahmad bin Muhammad Al-‘Anazie [70] ,

3) ‘Utsman bin Sa’d Ad-Darimi [71] ,

4) Yusuf bin ‘Isa Al-Maruzi [72] ,

5) Al-Fadl bin Musa As-Sinani [73] ,

6) Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah [74] ,

7) Sa’d bin Al-Mundzir [75] ,

8) Abu Humaid As-Sa’di [76] .

Selain Ahmad bin Muhammad Al-‘Anazie yang tidak penulis temukan namanya dalam kitab-kitab rijal yang penulis baca, semua rawi di atas adalah tsiqat kecuali Sa’d bin Al-Mundzir bin Abu Humaid As-Sai’di. Tidak ada seorang pun yang meriwayatkan darinya kecuali Muhammad bin ‘Amr dan ‘Abdurrahman bin Sulaiman Al-Ghasil, sementara tidak ada ahli hadits pun yang mentsiqatkannya. Rawi seperti ini disebut sebagai rawi majhul hal. Dalam kitab Taisir Musthalahil Hadits disebutkan definisi majhul hal sebagai berikut:

هُوَ مَنْ رَوَى عَنْهُ اثْنَانِ فَأَكْثَرَ لَكِنْ لَمْ يُوَثَّقْ [77]

Artinya:

Dia (majhul hal) adalah orang yang dua rawi atau lebih meriwayatkan darinya, tapi dia tidak ditsiqatkan.

Jumhur (mayoritas) ahli hadits berpendapat bahwa hadits yang diriwayatkan rawi majhul hal, hukumnya tertolak [78] . Karena itulah hadits ini tidak dapat diterima.

7. Q.S. At-Taubah, ayat 13-15

أَلاَ تُقَاتِلُونَ قَوْمًا نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ وَهَمُّوا بِإِخْرَاجِ الرَّسُولِ وَهُمْ بَدَءُوكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ أَتَخْشَوْنَهُمْ فَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَوْهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (13) قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ (14) وَيُذْهِبْ غَيْظَ قُلُوبِهِمْ وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (15) اَلتَّوْبَةُ : 13-15

Artinya:

Tidakkah kalian perangi kaum yang merusak janji-janji mereka dan ingin mengeluarkan Rasul dan mereka memulai kalian pada kali pertama?! Apakah kalian takut kepada mereka? Maka, Allahlah yang lebih berhak kalian takuti jika kalian adalah orang-orang yang beriman.(13) Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka melalui tangan-tangan kalian, menghinakan mereka, menolong kalian atas meraka serta menyembuhkan hati-hati orang-orang beriman (14) dan Dia (Allah) menghilangkan kedongkolan hati-hati mereka dan Allah memberi taubat atas orang yang Dia kehendaki dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana (15). (Q.S. At-Taubah: 13-14)

Kaum yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang musyrik yang merusak janji-janji mereka, memulai peperangan dengan kaum muslimin serta amat ingin mengeluarkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Makkah. [79] Pada asalnya, orang-orang musyrik yang dimaksud adalah orang-orang musyrik Quraisy, meskipun yang benar adalah bahwa perintah perang dalam ayat tersebut umum terhadap semua orang musyrik yang melakukan perbuatan yang disebutkan dalam ayat tersebut. [80]

Pelaksanaan perintah perang terhadap orang-orang musyrik Quraisy dalam ayat ini tidak boleh tidak terjadi sebelum Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah). Sebab, setelah Fathu kota Makkah tidak ada lagi peperangan yang terjadi antara orang-orang musyrik Quraisy dengan kaum muslimin. Ini menunjukkan bahwa ayat ini turun sebelum Fathu Makkah.


[1] Mereka Adalah Teroris, hlm 433.

[2] Menggugat Keberadaan Tentara Asing di Jazirah, hlm. 100.

[3] Drs Marzuki, Metodologi Riset, hlm. 55.

[4] Drs.Marzuki, Metodologi Riset, hlm. 56.

[5] Disebutkan pada footnote untuk kata “بِمُسْلِمٍ ini (Al-Umm, jld. 2, hlm 276): “ لَعَلَّهُ “بِمُشْرِكٍ” فَتَأَمَّلْ” (barangkali (kata) ini adalah “بِمُشْرِكٍ”, maka perhatikanlah!). Penulis berpendapat memang yang benar adalah “بِمُشْرِكٍ”. Sebab, kalimat di atas sangat tidak logis kecuali jika kata بِمُسْلِمٍ ini diganti dengan kata بِمُشْرِكٍ .

[6] Imam Asy-Syafi’ie, Al-Umm, jld 2, juz 4, hlm 276

[7] Ash-Shan’ani, Subul As-Salam, juz 4, hlm 49

[8] Asy-Syafi’ie, Al-Umm, jld. 4, juz.7, hlm.361-362, bab. Sahm Al-Faris wa Ar-Rajil wa Tafdlil Al-Khail.

[9] Abu Dawud, Al-Marasil, hlm. 590.

[10] Abu Dawud, As-Sunan, jld. 1, hlm. 630, kitab Al-Jihad, bab Fi Shulh Al-‘Aduw, no. 2767

[11] Asy-Syaukani, Nail Al-Authar, jld. 5, juz. 7, hlm. 187.

[12] Asy-Syaukani, Nail Al-Authar, jld. 5, juz. 7, hlm. 187.

[13] Imam Asy-Syafi’ie, Al-Umm, jld 2, juz 4, hlm 276

[14] Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, jld 2, hlm 626, bab “Al-Istianah bi Al-Fajarah wa Al-Kafarah ‘Ala Al-ghazwi”.

[15] Asy-Syaukani, Nail Al-Authar, jld.5, juz 7, hlm 187.

[16] Muslim, Jami’ Ash-Shahih, jld 3, juz 5, hlm 201

[17] Al-Hakim, Al-Mustadrak, jld. 2, hlm.121-122.

[18] Al-Hakim, Al-Mustadrak, jld. 2, hlm.122

[19] Lihat bab 2, hlm. 6.

[20] Lihat bab 2, hlm. 7.

[21] Lihat bab 2, hlm. 7.

[22] Lihat bab 2, hlm. 8

[23] Lihat bab 2, hlm. 8

[24] Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, juz.4, hlm.222-223.

[25] Lihat tafsir Ibnu Katsir, jld 2, hlm. 351.

[26] Lihat bab 2, hlm. 8-9.

[27] Lihat kembali bab 2, hlm. 4.

[28] Lihat kembali bab 2, hlm. 4.

[29] Lihat kembali bab. 3, hlm. 10.

[30] Lihat bab 3, hlm. 11.

[31] Lihat hadits ‘Aisyah dalam bab 3, hlm. 11.

[32] Ahli Ushul mengatakan bahwa perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hujjah kecuali jika ada dalil yang menunjukkan kekhususan perbuatan itu bagi beliau. Lihat tafsir As-Sa’dy pada surat Al-Ahzab, ayat 21, jld. 4, hlm. 133.

[33] Tafsir Ibnu Katsir, jld. 3, hlm. 477

[34] Lihat bab 3, hlm. 12

[35] Lihat bab 3, hlm. 12-13

[36] Adz-Dzahabi, Mizan Al-I’tidal, juz 1, hlm. 513-516.

[37] Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, jld. 2, hlm. 432-434.

[38] Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, jld. 10, hlm. 288-289.

[39] Ibnul Atsir, Usd Al-Ghabah, jld. 3, hlm. 186-190.

[40] Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, juz 2, hlm. 306.

[41] Adz-Dzahabi, Mizan Al-I’tidal, juz 1, hlm.515

[42] Ibnu Hajar, Taqrib At-Tahdzib, juz 1, hlm. 118

[43] Abu Dawud, Al-Marasil, hlm. 590.

[44] Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, jld. 4, hlm. 89-90.

[45] Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, jld. 4, hlm. 117-122.

[46] Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, jld. 11, hlm. 370-371.

[47] Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, jld. 9, hlm. 445-451.

[48] Dr. Mahmud Ath-Thahhan, Taisir Musthalah Al-Hadits, hlm.60

[49] Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, jld. 6, hlm. 16-18.

[50] Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, jld. 8, hlm. 237-240.

[51] Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, jld. 6, hlm. 238-242.

[52] Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, jld. 2, hlm. 251.

[53] Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, jld. 10, hlm. 289-293.

[54] Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, jld. 5, hlm. 218.

[55] Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, jld. 3, hlm. 118-120.

[56] Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, jld. 2, hlm. 64-65.

[57] Ibnul Atsir, Usd Al-Ghabah, jld. 2, hlm. 26, no. 1555

[58] Dr. Mahmud Ath-Thahhan, Taisir Musthalah Al-Hadits, hlm. 33.

[59] Al-Hakim, Al-Mustadrak, jld. 2, hlm. 121-122.

[60] Penulis tidak mendapatkan pembicaraan tentang rawi ini dalam kitab-kitab yang telah penulis telaah.

[61] Penulis tidak mendapatkan pembicaraan tentang rawi ini dalam kitab-kitab yang telah penulis telaah.

[62] Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, Jld.11, hlm. 366-369

[63] Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, jld. 10, hlm. 104

[64] Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, jld. 3, hlm. 136

[65] Ibnu Abi Hatim, Al-Jarh Wa At-Ta’dil, jld. 5, hlm. 230.

[66] Ibnu Al-Atsir, Usd Al-Ghabah, jld. 1, hlm. 595-596.

[67] Dr. Mahmud Ath-Thahhan, Taisir Musthalah Al-Hadits, hlm. 99

[68] Dr. Mahmud Ath-Thahhan, Taisir Musthalah Al-Hadits, hlm. 99.

[69] Al-Hakim, Al-Mustadrak, jld. 2, hlm. 122.

[70] Penulis tidak mendapatkan pembicaraan tentang rawi ini dalam kitab-kitab yang telah penulis telaah.

[71] Ibnu Abi Hatim, Al-Jarh wat Ta’dil, jld. 6, hlm. 153.

[72] Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, jld. 11, hlm. 420-421.

[73] Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, jld. 8, hlm. 286-287.

[74] Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, jld. 9, hlm. 375-377.

[75] Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, jld. 3, hlm. 482-493

[76] Ibnul Atsir, Usd Al-Ghabah, jld. 5, hlm. 78-79.

[77] Dr. Mahmud Ath-Thahhan, Taisir Musthalah Al-Hadits, hlm. 99.

[78] Dr. Mahmud Ath-Thahhan, Taisir Musthalah Al-Hadits, hlm. 99.

[79] Tafsir Ibnu Katsir, jld. 2, hlm. 351

[80] Tafsir Ibnu Katsir, jld. 2, hlm. 351

Tanggapan

  1. makalahnya oce. ada makalah yang lain? mungkin biar tambah ngeramein blog ini. oya, rahahnya dari cp ni???? 😉

  2. makalahnya oce. ada makalah yang lain? mungkin biar tambah ngeramein blog ini. oya, rahahnya dari cp ni???? 😉 bisa ditambah dong.

  3. ada makalah lain, judulnya ….ana lupa, yang mbak Izzah tulis itu lho
    Heniza ni pede banget ya. Semoga aja benar-benar manis (black sweet kali).
    Allah tidak memandang dari bentuk dan rupa, tpi memandang hati-hati kalian.

  4. akhi kok maktabah syamilahnya nggak lengkap sih?
    masak kutubul haditsnya cuma 5 buku.

  5. Nggak tahu tuh ukhti, la wong yang buat bukan ana, ana cuma ngelink ke situs itu aja

    ________________________________

  6. nggak nyesel pernah 6 tahun di MI gumuk. Ternyata maqolah2 kalian berkualitas (menurut saya). Apalagi tema yang beginian. Ayo belajar terus!!! Ajari kami yang sudah njebol-njebol ini..hehehe

  7. alangkah senagnya jika semua makalah terposting,,, itung2 berbagi ilmu, terutama fiqhul waqi’. syukron.


Tinggalkan komentar